Namaku Dika. Aku mau cerita tentang kejadian yang pernah ku alami waktu aku duduk di kelas tiga SD dulu. Umurku belum sampai sepuluh tahun waktu itu. Jangan salah sangka dulu lho. Ini kejadian bukan tentang diriku. Tapi tentang orang yang sangat kuhormati.
Aku adalah anak pertama dari papa dan mamaku yang asli turunan Sunda. Papaku, Dadang Sukmana, adalah seorang karyawan swasta di sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang elektronika di Tangerang. Perusahaan itu sedang maju pesat usahanya. Papaku sudah menduduki jabatan kepala divisi saat itu. Sedangkan mamaku, Yuyun Sukmana, hanya ibu rumah tangga biasa. Yang sangat telaten merawat keluarganya. Kehidupan kami bisa dibilang cukup sejahtera.
Seingatku, sejak dulu, rumah kami selalu ramai. Karena banyak keluarga yang suka menumpang. Saat itu yang menumpang di rumah kami ada dua orang. Yang satu adik mamaku yang paling bungsu. Laki-laki. Dedy namanya. Aku memanggilnya Om Dedy. Usianya masih sembilan belas tahun. Baru di terima kuliah di Jakarta sini. Mamaku memang memaksanya untuk tinggal di rumah kami. Padahal waktu datang ke Jakarta dia bilang pengen kos aja. Tapi mama beralasan kalo nanti om Dedy kos, ia tak bisa mengawasinya. Dan kuatir om Dedy nanti terjerumus. Saat itu aku kurang mengerti arti terjerumus yang dimaksukan mamaku itu.
Satu lagi Mbak Neny. Sepupuku, keponakan papa. Ia masih sekolah kelas dua SMA. Orang tuanya, adik papaku memang kurang mampu. Jadi papa membawanya ikut kami supaya bisa disekolahkan olehnya.
Kedua orang tuaku memang suka membantu keluarga. Padahal masih ada saudara orang tuaku yang lebih mampu dari kami. Tapi mereka tak seperti orang tuaku. Gak ada yang bersedia dijadikan tempat tumpangan keluarga. Dulu pernah ada beberapa keluarga yang lain. Namun semuanya udah pergi. Ada yang karena sudah menikah, atau mendapat pekerjaan di kota lain.
Papaku orangnya doyan olah raga. Segala olah raga dia suka. Kata mama waktu sekolah dan kuliah dulu papaku punya segudang prestasi olah raga. Mulai dari karate sampe catur. Mulai dari karambol sampe maen golf, hehehe. Aku sih jelas percaya. Karena di rumahku banyak sekali piala-piala, piagam penghargaan dan medali yang menjadiu bukti prestasi olah raga papaku.
Om Dedy juga begitu. Maksudku dia juga doyan olah raga kayak papa. Mungkin karena itu papaku dan om Dedy kompak banget. Kalau udah ngomongin olah raga mereka bisa tahan berjam-jam. Meski kurang ngerti, aku suka dengerin mereka ngobrol soal olah raga. Atau mantengin mereka berdua yang sedang serius maen catur sampe lupa waktu dan kadang lupa makan. Kalo udah begini ibuku bakalan ngomel-ngomel pada mereka berdua. Tapi bukan ngomel marah lho, ngomel sayang.
Mereka berdua juga hobby banget nonton pertandingan sepak bola. Terserah mau di stadion atau di televisi. Kalau nonton di televisi mereka betah nongkrongin layar televisi dari tengah malam sampe pagi. Sementara penghuni rumah yang laen, termasuk aku, udah lelap dibuai mimpi.
Setiap pagi, papa dan om Dedy rajin jogging keliling kompleks rumah kami. Setiap hari Minggu pagi selesai jogging, ada acara tambahan, mereka pergi berenang ke kolam renang. Aku sering di ajak serta juga. Tapi karena mungkin aku masih kecil, rasanya aku lebih suka tidur daripada ngikutin mereka jogging pagi-pagi dan dilanjutin berenang. Abis masih dingin banget sih.
Kalo mamaku kompaknya dengan Mbak Neny. Mereka berdua hobi dengan kegiatan rumah tangga. Merangkai bunga, bersih-bersih perabotan rumah, atau bikin kue dan segala jenis masakan lainnya. Mereka suka banget nyobain resep-resep baru. Yang untung aku, karena untuk nyobain makanan yang mereka buat adalah jatahku. Makanya waktu kecil dulu badanku agak buntel dikit. Tapi kalo sekarang udah enggak dong.
Aku juga punya adik lho. Namanya Rini. Umurnya dengannya selisih tiga tahun. Jadi, waktu aku kelas tiga itu dia belon sekolah. Aku sayang sekali padanya. Anaknya lucu dan ngegemesin. O, ya aku bakalan punya adik satu lagi. Mamaku sedang hamil tua saat itu. Tinggal menunggu hari melahirkan saja. Karena itu sejak kemarin mamaku sudah ngungsi ke rumah nenekku di Bandung. Ibunya mamaku dan om Dedy. Mama ngungsi kesana karena kuatir nanti kalau ibuku harus melahirkan mendadak saat papaku kerja gak ada yang bisa nganter ke rumah sakit.
Sejak mama ngungsi, tinggallah Papa, aku, om Dedy, dan Mbak Neny di rumah. Rini adikku dibawa serta ke rumah nenek. Kalau siang gak ada yang ngawasin dia. Aku, om Dedy, dan Mbak Neny sekolah atau kuliah. Sedangkan papa kerja. Sementara kami tidak punya pembantu. Karena segala sesuatu dikerjakan oleh mamaku dan Mbak Neny berdua saja.
Papaku masih cukup muda waktu itu. Umurnya baru 30 tahun. Sementara ibuku 28 tahun. Mereka memang menikah pada usia yang masih cukup muda. Papa masih kuliah waktu itu. Mamaku juga. Tapi karena udah cinta ya mau diapain lagi. Mereka menyelesaikan kuliah dalam keadaan sudah menikah.
Waktu itu hari Sabtu. Malamnya ada pertandingan sepak bola di televisi. Seperti biasa, Papaku dan om Dedy sudah merencanakan untuk menonton pertandingan malam itu. Padahal besoknya papa dan kami sekeluarga, rencananya pagi-pagi mau ngelihat ibu ke Bandung. Tapi karena gila bola dia gak peduli bakalan ngantuk di perjalanan. Alasannya, perjalanan besok yang nyupir mobil papa adalah supir kantornya. Jadi selama perjalanan dia bisa tidur di mobil.
Dari sejak sore om Dedy tidur di kamar. Katanya persiapan supaya gak ngantuk pas nonton nanti. Sementara Papaku sepulang kerja juga langsung tidur di kamarnya. Sama seperti om Dedy, katanya juga untuk persiapan.
Kata om Dedy, pertandingan bolanya dimulai jam satu dini hari. Aku selalu bilang padanya pengen ikutan nonton juga. Tapi tetap saja aku tak bisa ikutan. Jam sembilan malam aja mataku udah ngantuk. Seperti juga hari ini. Padahal tadi aku sudah ikutan om Dedy tidur. Tapi kok tetap ngantuk juga ya?
Biasanya mama yang ngelonin aku sampai tertidur. Tapi karena mama tidak ada di rumah maka Mbak Neny yang menggantikan tugas mama. Dia ngelonin hingga aku tertidur. Setelah aku tertidur dia kembali ke kamarnya.
Om Dedy juga tidur di kamarku ini. Tapi mana mau om ku itu ngelonin aku. “Kamu udah gede, gak perlu dikelonin lagi,” katanya suatu kali. Aku sih gak peduli apa yang dia bilang. Tidur dikelonin itu enak kok. Lagian juga ada mamaku kok yang bersedia ngelonin aku, atau Mbak Neny. Ngapain juga dia sewot.
Rasanya aku baru tertidur sebentar saja. Ketika aku terbangun tiba-tiba. Kulihat jam dinding di kamarku, masih pukul setengah tiga dini hari. Apa karena aku tadi sudah tidur ya jadi aku terbangun malam ini? Gak tau deh. Yang pasti aku senang aja terbangun. Jadi bisa ikutan nonton bola dengan papaku dan om Dedy.
Aku meninggalkan kamarku dan menuju ruang keluarga, tempat kami biasanya nonton televisi. Tapi disana gak ada Papa dan om Dedy. O, iya aku ingat. Tadi papa ngajak om Dedy nonton di kamarnya saja. Karena mama gak ada. Kata papa kalo nonton disana, abis nonton bisa sekalian tidur.
Di kamar orang tuaku itu memang ada televisi. Sama besarnya dengan televisi di ruang keluarga ini. Kalo gak salah ukurannya 29 inci. Di kamar itu juga ada video tape. Papa sama mama suka nonton video malam-malam. Kalo aku tiba-tiba datang papa langsung matiin video itu pake remote control. Aku gak ngerti kenapa papa suka gitu. Emang nonton apaan sih berdua? Sampe aku gak boleh ikutan lihat.
Aku menuju kamar orang tuaku. Seperti biasa, kamar itu gak terkunci. Aku membuka gerendel pintu pelan-pelan. Pengen ngejutin papa sama om Dedy. Mereka pasti kaget ngelihat aku bisa bangun dini hari kayak gini. Gerendel sudah kuputar. Pintu pelan-pelan kugeser membuka. Tapi kok gak ada suara riuh pertandingan sepak bola. Yang ada suara orang kayak kesakitan. Merintih-rintih. Ada apa sih?
Aku masuk ke dalam kamar. Ruangan dalam kamar orang tuaku terlihat remang-remang. Sumber cahaya hanya berasal dari televisi yang menyala. Suara televisi tidak memperdengarkan suara pertandingan bola. Tapi suara rintihan-rintihan yang tadi kudengar. Selain dari televisi suara rintihan itu juga terdengar dari atas tempat tidur. Aku segera melayangkan pandanganku kesana. Dan waktu aku melihat ke atas tempat tidur papa aku terkesima.
Memang saat itu aku belum ngerti dengan apa yang kulihat, tapi aku yakin apa yang kulihat itu bukan hal yang biasa. Aku kuatir kalo papa dan om Dedy mengetahui aku melihat hal itu maka aku bisa kena marah. Karena itu aku bersembunyi di samping lemari yang terletak di dekat pintu. Mataku menatap lurus ke atas ranjang. Tatapan bingung dan pengen tahu.
Papaku sama om Dedy lagi ngapain ya? Kok mesti telanjang bulat gitu sih? Lho, lho, papa sama om Dedy kok isep-isepan burung kayak gitu sih? Apa gak jijik? Burung kan di pake buat kencing.
Om Dedy telentang di atas ranjang. Papa nungging diatasnya bertumpu dengan kaki dan tangan papa yang berotot. Posisi mereka berlawanan. Wajah papa di selangkangan om Dedy. Selangkangan papa di atas wajah om Dedy. Mulut papa asik ngisepin burung om Dedy yang keras dan besar. Mulut om Dedy juga asik ngisepin burung papa yang juga besar dan panjang. Mereka ngisepnya kayak ngisep es krim aja. Kayak burung itu rasanya enak banget gitu.
Waktu tuker baju di kolam renang, aku memang pernah liat burung papa dan burung om Dedy. Burung mereka lucu, ada rambutnya. Lebat dan kriting. Enggak kayak burungku yang mulus dari bulu. Kata papa kalau aku besar nanti juga burungku akan besar tumbuh rambut kayak mereka. Tapi perasaanku waktu aku lihat di kolam renang burung mereka berdua gak sebesar dan sepanjang saat mereka isep-isepan burung ini. Gede banget. Kayaknya hampir segede terong ungu yang sering dimasak mamaku deh. Kok bisa sih? Bikin aku bingung aja
Sambil isep-isepan burung, papaku juga ngomong-ngomong dengan om Dedy. Suara mereka mendesah-desah gitu. Kayak orang kepedesan.
“Enak Dedhh..?? ahhhssshhh..,”
“Enak a’ enak bangethh.. sshhh....,”
“Aa’ juga enak Dedhhh... sshhhh... isep yang kuat Dedhhh..,”
“Iyah a’ ahhh.. sshhh... teteh suka giniin aa’ jugah ya sshhhh... mmmppp..,”
“Mana mau diahh sshhh... teteh kamu kan maunya ngentot cepat ajahhh... sshh..,”
Kata-kata ngentot itu baru pertama kali kudengar waktu itu. aku gak ngerti apa artinya waktu itu. Kalo sekarang sih, ya jelas udah ngerti lah. Sekarang kan aku udah dua puluh tahun.
“A’ kontol aa’ gede banget yah. Mulut Dedy gak muat nihh.. sshhh... mmmpphh...,” kata om Dedy sambil terus sibuk mengulum-ngulum burung papa. Waktu itu juga aku ngerti kalo kontol itu nama lain dari burung.
“Masak gak muat sihh.... coba deh.. liat nihh...sshhh..,” sahut papa. Sesaat kemudian papa menggerakkan pantatnya turun. Burung papa yang om Dedy bilang kontol itu masuk sampe dalam ke mulut om Dedy. Rambut burung papa sampe lengket ke bibir tipis om Dedy. Mulut om Dedy sampe membulat lebar gitu. Lucu liatnya. “Tuh, muat kan,” kata papa. Lama juga papa neken pantatnya kayak gitu. Om Dedy kulihat kepayahan memuluti kontol papa yang besar dan panjang itu. Waktu papa mengangkat pantatnya kembali dan mengeluarkan kontolnya dari mulut Om Dedy, omku itu protes pada papa. “Aa’ jahat deh. Kontol aa’ sampe nembus kerongkongan Dedy tuh. Dedy sampe gak bisa napas,” katanya. Burung papa kulihat mengkilap. Basah kuyup dengan cairan bening tapi agak kental. Kayaknya itu ludah om Dedy.
“Gak bisa napas ya. Sorry-sorry. Kalo gitu gantian ya. Aa’ gituin kontol Dedy juga deh,” kata papa seperti membujuk. Sesaat kemudian papa langsung memasukkan seluruh kontol om Dedy ke dalam mulutnya. Hidung mancung papa sampe kena rambut burung om Dedy. Seperti om Dedy tadi, mulut papa juga jadi lucu. Membulat lebar.
Om Dedy kudengar merintih-rintih. “Ohhhh... ohhhh.... enak banget a’ ohhh... ssshhhh..........,” katanya. Sementara papa menekan-nekan kepalanya di selangkangan om Dedy itu berkali-kali. Pantat om Dedy terangkat-angkat ke atas beberapa kali. Menekan burungnya dalam-dalam ke mulut papaku.
Setelah beberapa saat papa melepaskan burung om Dedy dari mulutnya. Kepalanya kemudian ditolehkannya ke belakang melihat wajah om Dedy yang berada dibawah selangkangannya. Papaku senyum sambil ngomong, “Gimana Ded? Enak kan?” tanyanya.
“Sshhhh... enak banget a’. Sekali lagi dong a’,” katanya meminta lagi.
“Deu yang keenakan. Tadi aa’ gituin protes. Aa’ kasih gitu malah minta nambah. Mau menang sendiri ya,” kata papaku sambil tertawa pelan. Kemudian buah pelir om Dedy dikulum-kulumnya.
“Ahhh... ahhh... udah a’, udah. Gelihh.. sshhhhh...,” kata om Dedy minta ampun.
“Rasain. Itu hukuman buat adik ipar yang mau menang sendiri,” katanya tertawa lagi. Omku nyengir aja. Kayaknya papaku dan om Dedy senang banget deh isep-isepan burung kayak gitu.
Kemudian mereka kembali saling mengulum burung kayak tadi. Mengeluar masukkan burung itu dalam mulut mereka. Sambil sekali-kali menjilat-jilat batang burung mereka yang besar pake lidah. Kepala burung yang bulat kayak jamur itu juga mereka jilat-jilat. Seperti kubilang tadi mereka menjilat-jilat burung itu kayak menjilat es krim aja deh.
Lama juga mereka jilat-jilatan. Sampe kemudian papaku merubah posisinya. Dia membalikkan tubuh hingga searah dengan tubuh om Dedy. Tubuh atletis papa menindih tubuh omku yang juga atletis itu. Bibir papaku lalu menyentuh bibir om Dedy. Kemudian mereka berciuman. Semangat banget. saling balas-balasan ciuman. Sampe lengket kayak di lem begitu. Kok mereka gak ada rasa jijik sama sekali sih? Mulut mereka kan tadi dipake buat ngisep dan jilat burung mereka. Sekarang dipake cium-ciuman. Lagian ciumannya kok kayaknya buas banget gitu ya.
Setelah lama ciuman kulihat papa memalingkan pandangannya ke layar televisi. “Ded.. liat itu deh,” katanya pada omku. Dia mengajak omku untuk melihat layar televisi juga.
Masih tetap dalam keadaan bertindihan mereka melihat layar televisi. Aku jadi pengen tahu juga ada apa sih di layar televisi sampe mereka serius ngelihatnya begitu. Kugeser posisi berdiriku agar bisa melihat apa yang mereka lihat.
Dari tempatku berdiri aku bisa melihat dengan jelas apa yang terpampang di layar televisi itu. Ih, apa-apaan sih itu? Kataku dalam hati. Kulihat di layar televisi ada dua orang kulit putih di atas tempat tidur. Yang satu laki-laki yang satu lagi perempuan. Dua-duanya telanjang bulat kayak papaku dan om Dedy. Yang perempuan nungging kayak anjing. Yang laki-laki menindihnya dari belakang, nungging juga, sambil meluk tubuh yang wanita kuat-kuat. Pantat mereka bergerak-gerak maju mundur berbalasan. Gerakannya cepat dan kuat. Sampe-sampe kudengar bunyi kayak tamparan gitu setiap kali pantat yang wanita bertemu dengan pantat yang laki-laki. Mereka berdua ber hoh.. hohh.. hohh.. dengan suara keras dan tersengal-sengal. Itu orang lagi ngapain sih berdua? Pikirku.
“Enak banget ya Ded,” kata papa mengomentari apa yang dilihatnya di layar televisi.
“Iya. Kenapa emangnya a’? Aa’ pengen begituan juga?” tanya om Dedy.
“Kalo kamu gak keberatan,” sahut papaku sambil mencium dagu omku dengan lembut.
“Ngerayu nih,” kata omku tersenyum.
“Enggak sih. Kalo gak mau juga gak papa,” jawab papaku.
“Emang sama teteh gak cukup apa? Sampe-sampe minta sama adiknya juga,” kata om Dedy lagi. Tangannya mengelus-elus punggung papa dengan lembut.
“Abis udah lama sih aa’ gak gituan sama teteh kamu. Dia kan lagi hamil besar. Gak mungkin gituan,” kata papa pelan. Hidungnya digesek-gesekkannya pada hidung om Dedy.
“Lho, kan Dedy udah bantu selama ini. Kalo bukan aa’ mana mau Dedy ngulum-ngulum kontol kayak selama ini. Emang belum cukup ya?”
“Dedy udah bantuin aa’ selama ini aa’ ucapin terima kasih sekali. Tapi tetap aja kulum-kuluman kontol gak sama dengan yang gituan kan Ded,”
“Aa’ sih. Nafsunya gede banget,”
“Abis mo gimana lagi. Udah bawaan lahir,”
“Jadi gimana dong?”
“Kalo Dedy gak mau ya gak papa. Nanti aa’ cari perek aja deh,”
“Ih... jangan gitu dong. Entar aa’ kena penyakit kesian tetehnya Dedy dong,”
“Abis Dedy gak mau,”
“Emang Dedy ada bilang gak mau?”
“Kalo gitu mau ya?”
“Hmmmm... sakit gak a’. Kan aa’ harus masukinnya di silit Dedy. Kontol aa’ kan gede banget. Apa muat silit Dedy yang sempit kayak gini?”
“Ya dicobain pelan-pelan. Buktinya banyak juga kan film bokep yang ngentotnya di silit. Kok mereka keenakan?”
“Jadi mau dicoba nih?”
“Kalo Dedy mau. Kalo gak mau ya aa’ gak maksa,”
“Ngambek nih ceritanya? Jangan ngambek dong aa’ sayang. Ya udah kita cobain aja. Tapi kayaknya harus pake pelicin ya. Supaya lebih mudah,”
“Beneran nih?”
“Enggak, boongan. Ya beneran dong. Sana gih cari pelicin,” kata om Dedy mendorong tubuh papa agar melepaskan tindihannya dari dirinya.
“Makasih adik iparku sayang,” kata papa senang. Pipi om Dedy diciumnya. Kemudian papaku bangkit dan menuju meja rias mamaku. “Pake baby oil kayaknya licin ya Ded,” kata papaku sambil menunjukkan botol baby oil milik mamaku.
“Dicobain aja. Siniin,” kata om Dedy meminta botol baby oil itu dari papa. “Aa’ sini dekat Dedy. Biar kontol aa’ Dedy lumurin baby oil ini,”
“Silit kamu juga dilumuri Ded,” kata papaku sambil mendekat kembali ke arah om Dedy yang masih terbaring di atas ranjang. Papaku kemudian berdiri di samping tempat tidur. Dekat dengan kepala om Dedy. Omku itu lalu duduk di atas ranjang. Tangannya dilumurinya dengan cairan baby oil. Kemudian tangan yang berlumuran baby oil itu disapukannya ke burung papaku yang masih keras.
“Kok bisa segede ini sih a’. Tetehku pasti keenakan banget ya kalo dientot aa’?” kata om Dedy sambil mengusap-usap burung papaku dengan tangannya. Melumuri babay oil itu ke batang burung papaku.
“Entar kan Dedy bisa rasain sendiri gimana enaknya,” jawab papaku tersenyum. Tangannya membelai rambut om ku yang lurus pendek.
“Kayaknya udah cukup ya a’,” kata om Dedy.
“Iya. Udah-udah. Sekarang silit Dedy deh dilumuri baby oil. Sini aa’ yang lumurin. Dedy ngangkang deh disitu,” kata papa.
Om Dedy mengikuti apa yang papa katakan. Ia berbaring di atas ranjang dan mengangkangkan pahanya yang kokoh lebar-lebar dibantu kedua tangannya. Kemudian papa melumuri jarinya dengan baby oil. Jari yang berlumuran dengan baby oil itu kemudian diselipkannya ke lobang pantat omku.
“Yang banyak a’, supaya gak sakit,” kata omku.
“Iya. Ini juga udah banyak banget,” sahut papaku.
Setelah dirasa cukup, papaku meletakkan botol baby oil itu kembali ke atas meja rias mamaku. Kemudian ia kembali mendekat ke arah om Dedy. Mereka berdua kulihat tersenyum-senyum.
“A’ pelan-pelan ya. Ini pertama kali lho buat Dedy,”
“Santai aja. Aa’ akan buat Dedy melayang-layang deh,” kata papaku. Kemudian papaku memegang paha om Dedy. Menariknya hingga posisi om Dedy tepat di tepi ranjang. Paha om Dedy lalu disuruhnya mengangkang lebar. Papa mendekatkan selangkangannya ke selangkangan om Dedy. Karena terlalu tinggi, papa terpaksa harus menekukkan kakinya sedikit, agar selangkangannya tepat di depan buah pantat omku.
Aku terus mengawasi apa yang mereka lakukan. Bingung. Kok mereka bisa begitu sih? Pikirku. Kalo yang di layar televisi kan laki-laki dengan perempuan. Sementara papaku dan omku kan sama-sama laki-laki. Apa bisa juga?
“Tahan ya Ded. Teteh kamu juga awalnya sakit. Tapis etelah itu keenakan deh dia,” kata papaku tersenyum.
“Pelan-pelan ya a’,” kata om Dedy.
Papaku lalu pelan-pelan memasukkan kontolnya ke dalam lobang pantat omku. Gila! Apa bisa lobang pantat sesempit itu? pantat papaku bergerak maju. “Akh... akhhhh.... sakithh.. sshhh...,” erang omku.
“Tahan Ded. Tahan duluhh.. sshhhh.... sempit banget Ded. Jauh lebih sempit dari memek,” kata papaku. Satu lagi perbendaharaan kata-kataku bertambah. Memek.
Papaku terus memasukkan kontolnya yang besar itu ke dalam lobang pantat omku. Sedikit demi sedikit. “Tahan nafas Ded... tahan nafas.. erghhh.......,”
“Ohhhhh....aakhhh..... akhhh.......,” omku terus mengerang.
Dan akhirnya burung papaku memang bisa masuk seluruhnya. Benar-benar gila.
“Tuh Ded, udah masuk semua kontol aa’ di silit Dedy,” kata papaku.
“Gila a’. Kok bisa ya,” kata omku sambil melihat lobang pantatnya sendiri yang sudah terisi kontol papaku. Dia juga terlihat tak percaya.
“Gimana rasanya Ded?” tanya papaku.
“Penuh a’. Silit Dedy rasanya penuh banget,”
“Aa’ goyang ya sekarang,”
“Cobain deh a’,”
Papaku mulai menggerakkan pantatnya perlahan. Omku terlihat keskaitan.
“Ohhh... sakit a’, sakithh sshhh....,”
“Cuman sebentar Dedhhh,... sshhh... entar juga hilang ohhh.... sempit...sempit Dedhhh...,” kata papaku. Tak peduli omku mengatakan sakit, papaku terus menggoyang pantatnya. Pelan-pelan.
“Aa’ ohhh... aa’.... sakithhssshhh... shhh.... shh...... pelan a’,”
Papaku tetap tak peduli. Dia bergoyang terus. Semakin cepat malah. Dada bidang omku dilumatnya dengan buas. Tangannya meremas buah pantat omku kuat-kuat. Mencengkeram.
“Ohhhh... ohhh... ohhh... ohhh.... yahhh... yahhh... yahhh... enak bangethsshhhhh... ahh... ahh... dedhhh.. luar biasahh.,... sshh... ohhh..,” racau papaku. Kulihat tubuhnya mulai keringatan. Apalagi om Dedy.
“Duhhh... hehhhhhhhgghhhh... sshhakithh... ssjhhhhh.... ahhh... ahhh....,”
“Hohh... hohh... hohh... hohh... hohh... hohh... hohh...yahhhh.. yahh..,”
Aku benar-benar bingung. Tak mengerti dengan apa yang terjadi. Aku pernah lihat anjing kawin. Dan bentuknya mirip seperti ini. Apakah artinya papaku kawin dengan omku. Tapi apa bisa? Waktu itu yang kutahu anjing jantan kawin dengan anjing betina. Artinya laki-laki kawin dengan perempuan. Seperti papaku dan mamaku. Lalu yang dilakukan oleh papaku dan omku ini apa dong? Pikirku waktu itu.
Aku melihat papaku sangat berbeda dengan biasanya waktu itu. papaku yang selama ini terlihat lembut, waktu itu kulihat sangat buas. Ia tak peduli dengan omku yang sangat keskaitan kulihat. Pantat papaku terus saja bergoyang. Malah semakin cepat dan menghentak-hentak. Tapi anehnya meskipun omku berkali-kali bilang sakit, dia tak berusaha melepaskan diri dari papaku. Malah ketika papaku mencium bibirnya, omku itu membalas ciuman papa dengan penuh semangat. Mereka berciuman sampe lengket seperti yang tadi kulihat.
Dan lagi ketika papaku bilang kontolnya mau dilepasin dari lobang pantat om Dedy, omku itu malah melarang. Malah kemudian dia memegang pantat papaku, ikut menggoyang-goyang pantat papaku agar bergerak semakin cepat dan keras. Tapi itulah, mulutnya tetap saja bilang sakit dan sakit. Aku bener-bener gak ngerti lihat omku itu. kesakitan, tapi membiarkan saja papaku memberikan rasa sakit itu padanya.
Lama sekali mereka melakukan hal itu. sampe beberapa kali berganti posisi. Ada yang omku nungging terus digenjot papaku dari belakang. Ada yang papaku tiduran terus omku duduk diatas selangkangan papaku dan menggerak-gerakkan pantatnya naik turun. Ada yang papaku dan omku sama-sama berdiri, papaku genjot pantatnya dari belakang. Banyak deh. Macam-macam. Aku benar-benar bingung.
Kulihat di layar televisi juga gitu deh. Laki-laki dan perempuan itu beberapa kali tuker-tuker posisi. Intinya tetap aja pantat laki-laki itu bergoyang-goyang cepat dan keras.
Sampai kemudian akhirnya aku nekat aja dekatin papaku dan omku itu. Mau dimarahin terserah deh. Yang penting aku pengen tahu papaku lagi ngapain dengan omku. Lagipula udah lama banget mereka gituan terus. Hampir satu jam deh. Kakiku udah kesemutan. Kapan nonton sepak bolanya lagi, pikirku.
Waktu itu omku telungkup diatas ranjang. Pantatnya sedikit menungging keatas karena disumpal bantal dibawah pinggangnya. Papaku menindihnya dan tetap menggerakkan pantatnya naik turun dengan cepat. Kontol papaku keluar masuk lobang pantat omku itu. aku berdiri disamping tempat tidur. Kayaknya saking keasikannya menggoyang pantatnya sambil mulutnya menciumi punggung omku yang keringatan, papaku tak sadar akan kehadiranku didekatnya. Omku juga tak tahu. Karena dia memejamkan matanya sambil merintih-rintih.
“Deddhhh....dedhhh.. aa’ mau sampai Dedhhh...,” kata papaku. Pantatnya bergerak semakin cepat.
“Pa! Papa! Papa ngapain pa?” tanyaku sambil menepuk punggungnya.
Papaku menoleh kepadaku. Wajahnya yang merah dan bersimbah keringat terlihat sangat terkejut. “Dika?!!!!” serunya. Omkupun kaget. Dia juga menoleh ke arahku. Gerakan pantat papaku terhenti seketika.
“Sejak kapan kamu disini?!” tanya papaku memelankan suaranya kemudian. Omku terlihat sangat kebingungan.
“Dari tadi pa. Dari papa sama om Dedy isep-isepan burung,” sahutku tanpa rasa berdosa.
“Apa?! Udah dari tadi?!”
“Iya pa. Papa sama om Dedy lagi ngapain sih? Sampe keringetan kayak gini? Telanjang bulat lagi,” kataku.
“Jadi Dika udah liat semuanya?” papaku serta merta mengambil remote control dan mematikan video tape. Tapi udah percuma, aku udah liat semuanya.
“A’ giman nih a’?” tanya omku. Dia terlihat ketakutan.
“Udah dong pa. Tadi Dika bangun mau ikutan nonton sepak bola bareng papa dan om Dedy. Tapi kok malah Dika lihat papa sama om Dedy main isep-isepan burung. Ya Dika gak mau ganggu. Tapi karena Dika liat papa udah lama banget sama om Dedy gitu-gituan terus makanya Dika datengin. Nonton bolanya kapan pa?” tanyaku.
“Nonton bolanya udah tadi sayang. Sekarang papa sama om Dedy lagi senam. Lihat nih badan papa sama om Dedy keringetan kan. Kalo Dika liat papa sam om Dedy dari tadi pantat papa goyang-goyang kan kayak gini nih,” papaku kembali menggoyang pantatnya naik turun. Omku kelihatan bingung melihat papaku. “Nah ini kan kayak push up sayang. Dika sering kan liat papa sam om Dedy push up?”
“Sering sih pa. Tapi ini push upnya kok laen sih? Kok burung papa sampe masuk-masuk lobang pantat om Dedy kayak gitu?”
“Ini push up khusus sayang. Supaya badan lebih sehat,” sahut papaku. Dia terus menggerakkan pantatnya seperti tadi. “Sekarang Dika keluar dulu ya. Nanti kalo papa sama om Dedy udah selesai Dika boleh masuk sini lagi,” kata papaku.
“Enggak ah pa. Dika pengen liat aja. Dika kan juga sering liat papa sama om Dedy senam. Kok ini gak boleh?” tanyaku.
“Kalau gitu ya udah. Dika jangan berisik ya. Papa siapin dulu senamnya dengan om Dedy. Sebentar lagi kok. Kalo Dika mau tidur, ya tidur aja disitu sayang,” kata papaku sambil tersenyum padaku.
“A’ gak papa nih dilihat Dika?” tanya omku.
“Habis mo gimana lagi Ded. Aa’ rasanya udah tanggung banget nih,” sahut papaku.
“Nanti kalo ada apa-apa gimana dong?” tanya omku bingung.
“Liat entar aja deh,” sahut papaku.
Setelah itu papaku kembali melanjutkan gerakan pantatnya. Semakin cepat dan keras. Nafasnya tersengal-sengal. Tak lama kemudian gerakannya terhenti mendadak. Pantatnya menekan kuat-kuat. Aku melihat buah pantatnya yang putih mendenyut-denyut dan mengempot. Dari mulut papaku keluar erangan tertahan sambil hidungnya mendengus-dengus yang keras beberapa kali. Tubuhnya kelojotan dan menegang. Hal itu terjadi untuk beberapa detik kedepan. Setelah itu tubuhnya terbaring lemas diatas tubuh omku. Nafasnya memburu. Dadanya yang bidang bergerak naik turun dengan cepat diatas punggung om Dedy.
Beberapa saat kemudian ia membalikkan tubuhnya. Berbaring disebelah om Dedy yang masih menelungkup. Aku lihat kontol papaku yang masih keras, mengkilap dan belepotan cairan putih yang kental. Kayak susu kental manis. Lobang pantat omku yang kulihat menganga, juga belepotan cairan kental itu.
Setelah nafas papaku kembali normal dia menggenakan kembali pakaiannya. Demikian juga omku. Papaku kemudian berkata padaku agar aku tidak menceritakan apa yang aku lihat malam itu pada siapapun termasuk mamaku.
“Kenapa pa? Kok gak boleh dibilang?” tanyaku bingung.
“Karena senam yang papa dan om Dedy kerjakan tadi hanya khusus untuk laki-laki. Kalau mama tahu dia apsti melarang. Mama kan suka kuatir sayang. Liat aja kalau papa sama om Dedy main catur lama-lama. Mama kamu kan suka marah,”
“O.. gitu ya pa. Jadi gak boleh dibilangin?”
“Iya sayang. Anak papa kan pinter. Pasti denger apa yang papa bilang,” kata papaku.
“Oke deh kalo gitu pa,” kataku. Dan aku memang memegang janjiku pada papa itu sampai saat ini. Yang kuingat, sejak itu papa menjadi semakin baik denganku. Apa yang kuminta selalu dipenuhi. Padahal kalo sebelumnya papa tidak selalu memenuhi apa yang kuminta. Mama yang sering mengingatkan papa agar tak meperlakukanku dengan manja seperti itu.
Saat aku duduk di bangku SMP, dimana aku mulai mengenal sex, akhirnya aku paham apa yang terjadi malam itu antara papaku dengan om Dedy. Aku ingat, akhirnya aku menanyakan hal itu pada om Dedy. Mengapa mereka bisa melakukannya padahal mereka bukan homosex sepengetahuanku.
“Waktu itu mama kamu hamil kan Dik. Papa kamu libido seksualnya tinggi banget. Mau nyalurin dengan perek dia takut penyakit. Karena gak tau mau nyalurin sama siapa akhirnya dia minta bantuin om. Awalnya cuman bantuin ngocok doang. Lama-lama ya meningkat sampai oral dan akhirnya apa yang kamu lihat malam itu. Waktu itu juga om kan lagi masa-masa dimana keingintahuan sex sangat tinggi. Akhirnya ya nyambung. Tapi kami gak pernah melakukan lagi kok setelah mama kamu bisa melayani papa kamu. Om juga lebih enak ngelakuinnya sama pacar om dong. Lagian kalo gituan sama papa kamu, kan om yang kena jatah sakitnya doang. Mana mau papa kamu di anal sama om,” kata om Dedy saat kami berdua sama-sama bersiap untuk tidur. Aku kelas dua SMP waktu itu.
“Sakit apa enak sih om? Buktinya om gak minta lepasin sama papa,”
“Ada enaknya om akui. Tapi tetap aja sakit. Lo bayangin aja “anu” papa elo kan segede terong begitu. Masuk ke lobang pelepasan om yang sempit kayak gini. Lagipula om juga gak enak nolak papa kamu kan. Om udah banyak dibantu kayak gini,” kata omku.
“Jadi setelah itu gak ada keinginan untuk nyobain lagi om?”
“Kadang sih ada. Tapi om pikir juga untuk apa. Itukan gak boleh sebenernya. Kemaren juga karena darurat kan. Lagian papa kamu juga gak pernah ngajakin lagi,” katanya sambil membalikkan badannya membelakangiku. “Udah deh. Tidur aja. Gak usah ngomongin itu lagi,” katanya.
“Kalo ada yang ngajak emang mau mas?” tanyaku.
“Ya gak tau juga,” jawabnya tanpa membalikkan badannya kepadaku. “Emang kenapa Dik?” tanyanya.
“Soalnya Dika pengen ngajakin om Dedy gituan,” sahutku.
“Apa?!!” tanyanya sambil membalikkan tubuhnya menghadap padaku dengan cepat.
“Habis kayaknya Dika lihat waktu itu om sama papa keenakan banget. Dika jadi terbayang terus. Jadinya pengen,” sahutku sambil neyengir padanya.
“Kamu masih kecil banget Dik. Masih berapa tahun umur kamu,” katanya menatapku dalam-dalam. Tapi jemarinya membelai rambutku.
“Masak masih kecil sih om. Gini-gini tinggi Dika udah 170 centi meter lho om,” sahutku lagi. Memang meskipun waktu ituaku masih kelas dua SMP tapi badanku udah tinggi lho. Dan mulai terbentuk karena rajin berenang bareng papa dan om Dedy.
“Kamu pengen mencobanya?” tanyanya semakin antusias. Tubuhku yang ramping namun cukup berisi mulai dirabanya.
“Om mau ngajarin kan?” tanyaku lembut. Kucium pipinya.
“Jahat banget dong kalo om gak ngajarin keponakannya sendiri,” sahutnya. Akhirnya terjadilah. Omku memperjakaiku malam itu. Dia benar-benar penuh birahi sekali malam itu. Mungkin karena sudah lama tak melakukannya. Aku benar-benar kerepotan dibuatnya. Yang paling asik saat dia mengijinkan aku menganalnya, seperti apa yang telah dilakukannya padaku sebelumnya berulang-ulang.
Sekarang ini om Dedy udah menikah. Sementara aku masih kuliah. Sampai saat ini tak pernah aku menanyakan pada papaku mengapa ia melakukannya dengan om Dedy dulu. Jawaban omku waktu aku SMP dulu sudah cukup buatku. Sampai saat ini papaku tetap sangat baik padaku. Berusaha memenuhi segala apa yang kuminta.
Sekali-kali aku ketemu dengan om Dedy. Pada usia tiga puluhan dia kulihat semakin matang dan jantan saja. Tetap masih rajin olah raga, sehingga tubuhnya tetap prima. Kalau ketemu dan ada peluang, aku pasti melakukannya dengan omku itu. Lumayan kan, daripada coli, capek sendiri.
Tamat
Aku adalah anak pertama dari papa dan mamaku yang asli turunan Sunda. Papaku, Dadang Sukmana, adalah seorang karyawan swasta di sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang elektronika di Tangerang. Perusahaan itu sedang maju pesat usahanya. Papaku sudah menduduki jabatan kepala divisi saat itu. Sedangkan mamaku, Yuyun Sukmana, hanya ibu rumah tangga biasa. Yang sangat telaten merawat keluarganya. Kehidupan kami bisa dibilang cukup sejahtera.
Seingatku, sejak dulu, rumah kami selalu ramai. Karena banyak keluarga yang suka menumpang. Saat itu yang menumpang di rumah kami ada dua orang. Yang satu adik mamaku yang paling bungsu. Laki-laki. Dedy namanya. Aku memanggilnya Om Dedy. Usianya masih sembilan belas tahun. Baru di terima kuliah di Jakarta sini. Mamaku memang memaksanya untuk tinggal di rumah kami. Padahal waktu datang ke Jakarta dia bilang pengen kos aja. Tapi mama beralasan kalo nanti om Dedy kos, ia tak bisa mengawasinya. Dan kuatir om Dedy nanti terjerumus. Saat itu aku kurang mengerti arti terjerumus yang dimaksukan mamaku itu.
Satu lagi Mbak Neny. Sepupuku, keponakan papa. Ia masih sekolah kelas dua SMA. Orang tuanya, adik papaku memang kurang mampu. Jadi papa membawanya ikut kami supaya bisa disekolahkan olehnya.
Kedua orang tuaku memang suka membantu keluarga. Padahal masih ada saudara orang tuaku yang lebih mampu dari kami. Tapi mereka tak seperti orang tuaku. Gak ada yang bersedia dijadikan tempat tumpangan keluarga. Dulu pernah ada beberapa keluarga yang lain. Namun semuanya udah pergi. Ada yang karena sudah menikah, atau mendapat pekerjaan di kota lain.
Papaku orangnya doyan olah raga. Segala olah raga dia suka. Kata mama waktu sekolah dan kuliah dulu papaku punya segudang prestasi olah raga. Mulai dari karate sampe catur. Mulai dari karambol sampe maen golf, hehehe. Aku sih jelas percaya. Karena di rumahku banyak sekali piala-piala, piagam penghargaan dan medali yang menjadiu bukti prestasi olah raga papaku.
Om Dedy juga begitu. Maksudku dia juga doyan olah raga kayak papa. Mungkin karena itu papaku dan om Dedy kompak banget. Kalau udah ngomongin olah raga mereka bisa tahan berjam-jam. Meski kurang ngerti, aku suka dengerin mereka ngobrol soal olah raga. Atau mantengin mereka berdua yang sedang serius maen catur sampe lupa waktu dan kadang lupa makan. Kalo udah begini ibuku bakalan ngomel-ngomel pada mereka berdua. Tapi bukan ngomel marah lho, ngomel sayang.
Mereka berdua juga hobby banget nonton pertandingan sepak bola. Terserah mau di stadion atau di televisi. Kalau nonton di televisi mereka betah nongkrongin layar televisi dari tengah malam sampe pagi. Sementara penghuni rumah yang laen, termasuk aku, udah lelap dibuai mimpi.
Setiap pagi, papa dan om Dedy rajin jogging keliling kompleks rumah kami. Setiap hari Minggu pagi selesai jogging, ada acara tambahan, mereka pergi berenang ke kolam renang. Aku sering di ajak serta juga. Tapi karena mungkin aku masih kecil, rasanya aku lebih suka tidur daripada ngikutin mereka jogging pagi-pagi dan dilanjutin berenang. Abis masih dingin banget sih.
Kalo mamaku kompaknya dengan Mbak Neny. Mereka berdua hobi dengan kegiatan rumah tangga. Merangkai bunga, bersih-bersih perabotan rumah, atau bikin kue dan segala jenis masakan lainnya. Mereka suka banget nyobain resep-resep baru. Yang untung aku, karena untuk nyobain makanan yang mereka buat adalah jatahku. Makanya waktu kecil dulu badanku agak buntel dikit. Tapi kalo sekarang udah enggak dong.
Aku juga punya adik lho. Namanya Rini. Umurnya dengannya selisih tiga tahun. Jadi, waktu aku kelas tiga itu dia belon sekolah. Aku sayang sekali padanya. Anaknya lucu dan ngegemesin. O, ya aku bakalan punya adik satu lagi. Mamaku sedang hamil tua saat itu. Tinggal menunggu hari melahirkan saja. Karena itu sejak kemarin mamaku sudah ngungsi ke rumah nenekku di Bandung. Ibunya mamaku dan om Dedy. Mama ngungsi kesana karena kuatir nanti kalau ibuku harus melahirkan mendadak saat papaku kerja gak ada yang bisa nganter ke rumah sakit.
Sejak mama ngungsi, tinggallah Papa, aku, om Dedy, dan Mbak Neny di rumah. Rini adikku dibawa serta ke rumah nenek. Kalau siang gak ada yang ngawasin dia. Aku, om Dedy, dan Mbak Neny sekolah atau kuliah. Sedangkan papa kerja. Sementara kami tidak punya pembantu. Karena segala sesuatu dikerjakan oleh mamaku dan Mbak Neny berdua saja.
Papaku masih cukup muda waktu itu. Umurnya baru 30 tahun. Sementara ibuku 28 tahun. Mereka memang menikah pada usia yang masih cukup muda. Papa masih kuliah waktu itu. Mamaku juga. Tapi karena udah cinta ya mau diapain lagi. Mereka menyelesaikan kuliah dalam keadaan sudah menikah.
Waktu itu hari Sabtu. Malamnya ada pertandingan sepak bola di televisi. Seperti biasa, Papaku dan om Dedy sudah merencanakan untuk menonton pertandingan malam itu. Padahal besoknya papa dan kami sekeluarga, rencananya pagi-pagi mau ngelihat ibu ke Bandung. Tapi karena gila bola dia gak peduli bakalan ngantuk di perjalanan. Alasannya, perjalanan besok yang nyupir mobil papa adalah supir kantornya. Jadi selama perjalanan dia bisa tidur di mobil.
Dari sejak sore om Dedy tidur di kamar. Katanya persiapan supaya gak ngantuk pas nonton nanti. Sementara Papaku sepulang kerja juga langsung tidur di kamarnya. Sama seperti om Dedy, katanya juga untuk persiapan.
Kata om Dedy, pertandingan bolanya dimulai jam satu dini hari. Aku selalu bilang padanya pengen ikutan nonton juga. Tapi tetap saja aku tak bisa ikutan. Jam sembilan malam aja mataku udah ngantuk. Seperti juga hari ini. Padahal tadi aku sudah ikutan om Dedy tidur. Tapi kok tetap ngantuk juga ya?
Biasanya mama yang ngelonin aku sampai tertidur. Tapi karena mama tidak ada di rumah maka Mbak Neny yang menggantikan tugas mama. Dia ngelonin hingga aku tertidur. Setelah aku tertidur dia kembali ke kamarnya.
Om Dedy juga tidur di kamarku ini. Tapi mana mau om ku itu ngelonin aku. “Kamu udah gede, gak perlu dikelonin lagi,” katanya suatu kali. Aku sih gak peduli apa yang dia bilang. Tidur dikelonin itu enak kok. Lagian juga ada mamaku kok yang bersedia ngelonin aku, atau Mbak Neny. Ngapain juga dia sewot.
Rasanya aku baru tertidur sebentar saja. Ketika aku terbangun tiba-tiba. Kulihat jam dinding di kamarku, masih pukul setengah tiga dini hari. Apa karena aku tadi sudah tidur ya jadi aku terbangun malam ini? Gak tau deh. Yang pasti aku senang aja terbangun. Jadi bisa ikutan nonton bola dengan papaku dan om Dedy.
Aku meninggalkan kamarku dan menuju ruang keluarga, tempat kami biasanya nonton televisi. Tapi disana gak ada Papa dan om Dedy. O, iya aku ingat. Tadi papa ngajak om Dedy nonton di kamarnya saja. Karena mama gak ada. Kata papa kalo nonton disana, abis nonton bisa sekalian tidur.
Di kamar orang tuaku itu memang ada televisi. Sama besarnya dengan televisi di ruang keluarga ini. Kalo gak salah ukurannya 29 inci. Di kamar itu juga ada video tape. Papa sama mama suka nonton video malam-malam. Kalo aku tiba-tiba datang papa langsung matiin video itu pake remote control. Aku gak ngerti kenapa papa suka gitu. Emang nonton apaan sih berdua? Sampe aku gak boleh ikutan lihat.
Aku menuju kamar orang tuaku. Seperti biasa, kamar itu gak terkunci. Aku membuka gerendel pintu pelan-pelan. Pengen ngejutin papa sama om Dedy. Mereka pasti kaget ngelihat aku bisa bangun dini hari kayak gini. Gerendel sudah kuputar. Pintu pelan-pelan kugeser membuka. Tapi kok gak ada suara riuh pertandingan sepak bola. Yang ada suara orang kayak kesakitan. Merintih-rintih. Ada apa sih?
Aku masuk ke dalam kamar. Ruangan dalam kamar orang tuaku terlihat remang-remang. Sumber cahaya hanya berasal dari televisi yang menyala. Suara televisi tidak memperdengarkan suara pertandingan bola. Tapi suara rintihan-rintihan yang tadi kudengar. Selain dari televisi suara rintihan itu juga terdengar dari atas tempat tidur. Aku segera melayangkan pandanganku kesana. Dan waktu aku melihat ke atas tempat tidur papa aku terkesima.
Memang saat itu aku belum ngerti dengan apa yang kulihat, tapi aku yakin apa yang kulihat itu bukan hal yang biasa. Aku kuatir kalo papa dan om Dedy mengetahui aku melihat hal itu maka aku bisa kena marah. Karena itu aku bersembunyi di samping lemari yang terletak di dekat pintu. Mataku menatap lurus ke atas ranjang. Tatapan bingung dan pengen tahu.
Papaku sama om Dedy lagi ngapain ya? Kok mesti telanjang bulat gitu sih? Lho, lho, papa sama om Dedy kok isep-isepan burung kayak gitu sih? Apa gak jijik? Burung kan di pake buat kencing.
Om Dedy telentang di atas ranjang. Papa nungging diatasnya bertumpu dengan kaki dan tangan papa yang berotot. Posisi mereka berlawanan. Wajah papa di selangkangan om Dedy. Selangkangan papa di atas wajah om Dedy. Mulut papa asik ngisepin burung om Dedy yang keras dan besar. Mulut om Dedy juga asik ngisepin burung papa yang juga besar dan panjang. Mereka ngisepnya kayak ngisep es krim aja. Kayak burung itu rasanya enak banget gitu.
Waktu tuker baju di kolam renang, aku memang pernah liat burung papa dan burung om Dedy. Burung mereka lucu, ada rambutnya. Lebat dan kriting. Enggak kayak burungku yang mulus dari bulu. Kata papa kalau aku besar nanti juga burungku akan besar tumbuh rambut kayak mereka. Tapi perasaanku waktu aku lihat di kolam renang burung mereka berdua gak sebesar dan sepanjang saat mereka isep-isepan burung ini. Gede banget. Kayaknya hampir segede terong ungu yang sering dimasak mamaku deh. Kok bisa sih? Bikin aku bingung aja
Sambil isep-isepan burung, papaku juga ngomong-ngomong dengan om Dedy. Suara mereka mendesah-desah gitu. Kayak orang kepedesan.
“Enak Dedhh..?? ahhhssshhh..,”
“Enak a’ enak bangethh.. sshhh....,”
“Aa’ juga enak Dedhhh... sshhhh... isep yang kuat Dedhhh..,”
“Iyah a’ ahhh.. sshhh... teteh suka giniin aa’ jugah ya sshhhh... mmmppp..,”
“Mana mau diahh sshhh... teteh kamu kan maunya ngentot cepat ajahhh... sshh..,”
Kata-kata ngentot itu baru pertama kali kudengar waktu itu. aku gak ngerti apa artinya waktu itu. Kalo sekarang sih, ya jelas udah ngerti lah. Sekarang kan aku udah dua puluh tahun.
“A’ kontol aa’ gede banget yah. Mulut Dedy gak muat nihh.. sshhh... mmmpphh...,” kata om Dedy sambil terus sibuk mengulum-ngulum burung papa. Waktu itu juga aku ngerti kalo kontol itu nama lain dari burung.
“Masak gak muat sihh.... coba deh.. liat nihh...sshhh..,” sahut papa. Sesaat kemudian papa menggerakkan pantatnya turun. Burung papa yang om Dedy bilang kontol itu masuk sampe dalam ke mulut om Dedy. Rambut burung papa sampe lengket ke bibir tipis om Dedy. Mulut om Dedy sampe membulat lebar gitu. Lucu liatnya. “Tuh, muat kan,” kata papa. Lama juga papa neken pantatnya kayak gitu. Om Dedy kulihat kepayahan memuluti kontol papa yang besar dan panjang itu. Waktu papa mengangkat pantatnya kembali dan mengeluarkan kontolnya dari mulut Om Dedy, omku itu protes pada papa. “Aa’ jahat deh. Kontol aa’ sampe nembus kerongkongan Dedy tuh. Dedy sampe gak bisa napas,” katanya. Burung papa kulihat mengkilap. Basah kuyup dengan cairan bening tapi agak kental. Kayaknya itu ludah om Dedy.
“Gak bisa napas ya. Sorry-sorry. Kalo gitu gantian ya. Aa’ gituin kontol Dedy juga deh,” kata papa seperti membujuk. Sesaat kemudian papa langsung memasukkan seluruh kontol om Dedy ke dalam mulutnya. Hidung mancung papa sampe kena rambut burung om Dedy. Seperti om Dedy tadi, mulut papa juga jadi lucu. Membulat lebar.
Om Dedy kudengar merintih-rintih. “Ohhhh... ohhhh.... enak banget a’ ohhh... ssshhhh..........,” katanya. Sementara papa menekan-nekan kepalanya di selangkangan om Dedy itu berkali-kali. Pantat om Dedy terangkat-angkat ke atas beberapa kali. Menekan burungnya dalam-dalam ke mulut papaku.
Setelah beberapa saat papa melepaskan burung om Dedy dari mulutnya. Kepalanya kemudian ditolehkannya ke belakang melihat wajah om Dedy yang berada dibawah selangkangannya. Papaku senyum sambil ngomong, “Gimana Ded? Enak kan?” tanyanya.
“Sshhhh... enak banget a’. Sekali lagi dong a’,” katanya meminta lagi.
“Deu yang keenakan. Tadi aa’ gituin protes. Aa’ kasih gitu malah minta nambah. Mau menang sendiri ya,” kata papaku sambil tertawa pelan. Kemudian buah pelir om Dedy dikulum-kulumnya.
“Ahhh... ahhh... udah a’, udah. Gelihh.. sshhhhh...,” kata om Dedy minta ampun.
“Rasain. Itu hukuman buat adik ipar yang mau menang sendiri,” katanya tertawa lagi. Omku nyengir aja. Kayaknya papaku dan om Dedy senang banget deh isep-isepan burung kayak gitu.
Kemudian mereka kembali saling mengulum burung kayak tadi. Mengeluar masukkan burung itu dalam mulut mereka. Sambil sekali-kali menjilat-jilat batang burung mereka yang besar pake lidah. Kepala burung yang bulat kayak jamur itu juga mereka jilat-jilat. Seperti kubilang tadi mereka menjilat-jilat burung itu kayak menjilat es krim aja deh.
Lama juga mereka jilat-jilatan. Sampe kemudian papaku merubah posisinya. Dia membalikkan tubuh hingga searah dengan tubuh om Dedy. Tubuh atletis papa menindih tubuh omku yang juga atletis itu. Bibir papaku lalu menyentuh bibir om Dedy. Kemudian mereka berciuman. Semangat banget. saling balas-balasan ciuman. Sampe lengket kayak di lem begitu. Kok mereka gak ada rasa jijik sama sekali sih? Mulut mereka kan tadi dipake buat ngisep dan jilat burung mereka. Sekarang dipake cium-ciuman. Lagian ciumannya kok kayaknya buas banget gitu ya.
Setelah lama ciuman kulihat papa memalingkan pandangannya ke layar televisi. “Ded.. liat itu deh,” katanya pada omku. Dia mengajak omku untuk melihat layar televisi juga.
Masih tetap dalam keadaan bertindihan mereka melihat layar televisi. Aku jadi pengen tahu juga ada apa sih di layar televisi sampe mereka serius ngelihatnya begitu. Kugeser posisi berdiriku agar bisa melihat apa yang mereka lihat.
Dari tempatku berdiri aku bisa melihat dengan jelas apa yang terpampang di layar televisi itu. Ih, apa-apaan sih itu? Kataku dalam hati. Kulihat di layar televisi ada dua orang kulit putih di atas tempat tidur. Yang satu laki-laki yang satu lagi perempuan. Dua-duanya telanjang bulat kayak papaku dan om Dedy. Yang perempuan nungging kayak anjing. Yang laki-laki menindihnya dari belakang, nungging juga, sambil meluk tubuh yang wanita kuat-kuat. Pantat mereka bergerak-gerak maju mundur berbalasan. Gerakannya cepat dan kuat. Sampe-sampe kudengar bunyi kayak tamparan gitu setiap kali pantat yang wanita bertemu dengan pantat yang laki-laki. Mereka berdua ber hoh.. hohh.. hohh.. dengan suara keras dan tersengal-sengal. Itu orang lagi ngapain sih berdua? Pikirku.
“Enak banget ya Ded,” kata papa mengomentari apa yang dilihatnya di layar televisi.
“Iya. Kenapa emangnya a’? Aa’ pengen begituan juga?” tanya om Dedy.
“Kalo kamu gak keberatan,” sahut papaku sambil mencium dagu omku dengan lembut.
“Ngerayu nih,” kata omku tersenyum.
“Enggak sih. Kalo gak mau juga gak papa,” jawab papaku.
“Emang sama teteh gak cukup apa? Sampe-sampe minta sama adiknya juga,” kata om Dedy lagi. Tangannya mengelus-elus punggung papa dengan lembut.
“Abis udah lama sih aa’ gak gituan sama teteh kamu. Dia kan lagi hamil besar. Gak mungkin gituan,” kata papa pelan. Hidungnya digesek-gesekkannya pada hidung om Dedy.
“Lho, kan Dedy udah bantu selama ini. Kalo bukan aa’ mana mau Dedy ngulum-ngulum kontol kayak selama ini. Emang belum cukup ya?”
“Dedy udah bantuin aa’ selama ini aa’ ucapin terima kasih sekali. Tapi tetap aja kulum-kuluman kontol gak sama dengan yang gituan kan Ded,”
“Aa’ sih. Nafsunya gede banget,”
“Abis mo gimana lagi. Udah bawaan lahir,”
“Jadi gimana dong?”
“Kalo Dedy gak mau ya gak papa. Nanti aa’ cari perek aja deh,”
“Ih... jangan gitu dong. Entar aa’ kena penyakit kesian tetehnya Dedy dong,”
“Abis Dedy gak mau,”
“Emang Dedy ada bilang gak mau?”
“Kalo gitu mau ya?”
“Hmmmm... sakit gak a’. Kan aa’ harus masukinnya di silit Dedy. Kontol aa’ kan gede banget. Apa muat silit Dedy yang sempit kayak gini?”
“Ya dicobain pelan-pelan. Buktinya banyak juga kan film bokep yang ngentotnya di silit. Kok mereka keenakan?”
“Jadi mau dicoba nih?”
“Kalo Dedy mau. Kalo gak mau ya aa’ gak maksa,”
“Ngambek nih ceritanya? Jangan ngambek dong aa’ sayang. Ya udah kita cobain aja. Tapi kayaknya harus pake pelicin ya. Supaya lebih mudah,”
“Beneran nih?”
“Enggak, boongan. Ya beneran dong. Sana gih cari pelicin,” kata om Dedy mendorong tubuh papa agar melepaskan tindihannya dari dirinya.
“Makasih adik iparku sayang,” kata papa senang. Pipi om Dedy diciumnya. Kemudian papaku bangkit dan menuju meja rias mamaku. “Pake baby oil kayaknya licin ya Ded,” kata papaku sambil menunjukkan botol baby oil milik mamaku.
“Dicobain aja. Siniin,” kata om Dedy meminta botol baby oil itu dari papa. “Aa’ sini dekat Dedy. Biar kontol aa’ Dedy lumurin baby oil ini,”
“Silit kamu juga dilumuri Ded,” kata papaku sambil mendekat kembali ke arah om Dedy yang masih terbaring di atas ranjang. Papaku kemudian berdiri di samping tempat tidur. Dekat dengan kepala om Dedy. Omku itu lalu duduk di atas ranjang. Tangannya dilumurinya dengan cairan baby oil. Kemudian tangan yang berlumuran baby oil itu disapukannya ke burung papaku yang masih keras.
“Kok bisa segede ini sih a’. Tetehku pasti keenakan banget ya kalo dientot aa’?” kata om Dedy sambil mengusap-usap burung papaku dengan tangannya. Melumuri babay oil itu ke batang burung papaku.
“Entar kan Dedy bisa rasain sendiri gimana enaknya,” jawab papaku tersenyum. Tangannya membelai rambut om ku yang lurus pendek.
“Kayaknya udah cukup ya a’,” kata om Dedy.
“Iya. Udah-udah. Sekarang silit Dedy deh dilumuri baby oil. Sini aa’ yang lumurin. Dedy ngangkang deh disitu,” kata papa.
Om Dedy mengikuti apa yang papa katakan. Ia berbaring di atas ranjang dan mengangkangkan pahanya yang kokoh lebar-lebar dibantu kedua tangannya. Kemudian papa melumuri jarinya dengan baby oil. Jari yang berlumuran dengan baby oil itu kemudian diselipkannya ke lobang pantat omku.
“Yang banyak a’, supaya gak sakit,” kata omku.
“Iya. Ini juga udah banyak banget,” sahut papaku.
Setelah dirasa cukup, papaku meletakkan botol baby oil itu kembali ke atas meja rias mamaku. Kemudian ia kembali mendekat ke arah om Dedy. Mereka berdua kulihat tersenyum-senyum.
“A’ pelan-pelan ya. Ini pertama kali lho buat Dedy,”
“Santai aja. Aa’ akan buat Dedy melayang-layang deh,” kata papaku. Kemudian papaku memegang paha om Dedy. Menariknya hingga posisi om Dedy tepat di tepi ranjang. Paha om Dedy lalu disuruhnya mengangkang lebar. Papa mendekatkan selangkangannya ke selangkangan om Dedy. Karena terlalu tinggi, papa terpaksa harus menekukkan kakinya sedikit, agar selangkangannya tepat di depan buah pantat omku.
Aku terus mengawasi apa yang mereka lakukan. Bingung. Kok mereka bisa begitu sih? Pikirku. Kalo yang di layar televisi kan laki-laki dengan perempuan. Sementara papaku dan omku kan sama-sama laki-laki. Apa bisa juga?
“Tahan ya Ded. Teteh kamu juga awalnya sakit. Tapis etelah itu keenakan deh dia,” kata papaku tersenyum.
“Pelan-pelan ya a’,” kata om Dedy.
Papaku lalu pelan-pelan memasukkan kontolnya ke dalam lobang pantat omku. Gila! Apa bisa lobang pantat sesempit itu? pantat papaku bergerak maju. “Akh... akhhhh.... sakithh.. sshhh...,” erang omku.
“Tahan Ded. Tahan duluhh.. sshhhh.... sempit banget Ded. Jauh lebih sempit dari memek,” kata papaku. Satu lagi perbendaharaan kata-kataku bertambah. Memek.
Papaku terus memasukkan kontolnya yang besar itu ke dalam lobang pantat omku. Sedikit demi sedikit. “Tahan nafas Ded... tahan nafas.. erghhh.......,”
“Ohhhhh....aakhhh..... akhhh.......,” omku terus mengerang.
Dan akhirnya burung papaku memang bisa masuk seluruhnya. Benar-benar gila.
“Tuh Ded, udah masuk semua kontol aa’ di silit Dedy,” kata papaku.
“Gila a’. Kok bisa ya,” kata omku sambil melihat lobang pantatnya sendiri yang sudah terisi kontol papaku. Dia juga terlihat tak percaya.
“Gimana rasanya Ded?” tanya papaku.
“Penuh a’. Silit Dedy rasanya penuh banget,”
“Aa’ goyang ya sekarang,”
“Cobain deh a’,”
Papaku mulai menggerakkan pantatnya perlahan. Omku terlihat keskaitan.
“Ohhh... sakit a’, sakithh sshhh....,”
“Cuman sebentar Dedhhh,... sshhh... entar juga hilang ohhh.... sempit...sempit Dedhhh...,” kata papaku. Tak peduli omku mengatakan sakit, papaku terus menggoyang pantatnya. Pelan-pelan.
“Aa’ ohhh... aa’.... sakithhssshhh... shhh.... shh...... pelan a’,”
Papaku tetap tak peduli. Dia bergoyang terus. Semakin cepat malah. Dada bidang omku dilumatnya dengan buas. Tangannya meremas buah pantat omku kuat-kuat. Mencengkeram.
“Ohhhh... ohhh... ohhh... ohhh.... yahhh... yahhh... yahhh... enak bangethsshhhhh... ahh... ahh... dedhhh.. luar biasahh.,... sshh... ohhh..,” racau papaku. Kulihat tubuhnya mulai keringatan. Apalagi om Dedy.
“Duhhh... hehhhhhhhgghhhh... sshhakithh... ssjhhhhh.... ahhh... ahhh....,”
“Hohh... hohh... hohh... hohh... hohh... hohh... hohh...yahhhh.. yahh..,”
Aku benar-benar bingung. Tak mengerti dengan apa yang terjadi. Aku pernah lihat anjing kawin. Dan bentuknya mirip seperti ini. Apakah artinya papaku kawin dengan omku. Tapi apa bisa? Waktu itu yang kutahu anjing jantan kawin dengan anjing betina. Artinya laki-laki kawin dengan perempuan. Seperti papaku dan mamaku. Lalu yang dilakukan oleh papaku dan omku ini apa dong? Pikirku waktu itu.
Aku melihat papaku sangat berbeda dengan biasanya waktu itu. papaku yang selama ini terlihat lembut, waktu itu kulihat sangat buas. Ia tak peduli dengan omku yang sangat keskaitan kulihat. Pantat papaku terus saja bergoyang. Malah semakin cepat dan menghentak-hentak. Tapi anehnya meskipun omku berkali-kali bilang sakit, dia tak berusaha melepaskan diri dari papaku. Malah ketika papaku mencium bibirnya, omku itu membalas ciuman papa dengan penuh semangat. Mereka berciuman sampe lengket seperti yang tadi kulihat.
Dan lagi ketika papaku bilang kontolnya mau dilepasin dari lobang pantat om Dedy, omku itu malah melarang. Malah kemudian dia memegang pantat papaku, ikut menggoyang-goyang pantat papaku agar bergerak semakin cepat dan keras. Tapi itulah, mulutnya tetap saja bilang sakit dan sakit. Aku bener-bener gak ngerti lihat omku itu. kesakitan, tapi membiarkan saja papaku memberikan rasa sakit itu padanya.
Lama sekali mereka melakukan hal itu. sampe beberapa kali berganti posisi. Ada yang omku nungging terus digenjot papaku dari belakang. Ada yang papaku tiduran terus omku duduk diatas selangkangan papaku dan menggerak-gerakkan pantatnya naik turun. Ada yang papaku dan omku sama-sama berdiri, papaku genjot pantatnya dari belakang. Banyak deh. Macam-macam. Aku benar-benar bingung.
Kulihat di layar televisi juga gitu deh. Laki-laki dan perempuan itu beberapa kali tuker-tuker posisi. Intinya tetap aja pantat laki-laki itu bergoyang-goyang cepat dan keras.
Sampai kemudian akhirnya aku nekat aja dekatin papaku dan omku itu. Mau dimarahin terserah deh. Yang penting aku pengen tahu papaku lagi ngapain dengan omku. Lagipula udah lama banget mereka gituan terus. Hampir satu jam deh. Kakiku udah kesemutan. Kapan nonton sepak bolanya lagi, pikirku.
Waktu itu omku telungkup diatas ranjang. Pantatnya sedikit menungging keatas karena disumpal bantal dibawah pinggangnya. Papaku menindihnya dan tetap menggerakkan pantatnya naik turun dengan cepat. Kontol papaku keluar masuk lobang pantat omku itu. aku berdiri disamping tempat tidur. Kayaknya saking keasikannya menggoyang pantatnya sambil mulutnya menciumi punggung omku yang keringatan, papaku tak sadar akan kehadiranku didekatnya. Omku juga tak tahu. Karena dia memejamkan matanya sambil merintih-rintih.
“Deddhhh....dedhhh.. aa’ mau sampai Dedhhh...,” kata papaku. Pantatnya bergerak semakin cepat.
“Pa! Papa! Papa ngapain pa?” tanyaku sambil menepuk punggungnya.
Papaku menoleh kepadaku. Wajahnya yang merah dan bersimbah keringat terlihat sangat terkejut. “Dika?!!!!” serunya. Omkupun kaget. Dia juga menoleh ke arahku. Gerakan pantat papaku terhenti seketika.
“Sejak kapan kamu disini?!” tanya papaku memelankan suaranya kemudian. Omku terlihat sangat kebingungan.
“Dari tadi pa. Dari papa sama om Dedy isep-isepan burung,” sahutku tanpa rasa berdosa.
“Apa?! Udah dari tadi?!”
“Iya pa. Papa sama om Dedy lagi ngapain sih? Sampe keringetan kayak gini? Telanjang bulat lagi,” kataku.
“Jadi Dika udah liat semuanya?” papaku serta merta mengambil remote control dan mematikan video tape. Tapi udah percuma, aku udah liat semuanya.
“A’ giman nih a’?” tanya omku. Dia terlihat ketakutan.
“Udah dong pa. Tadi Dika bangun mau ikutan nonton sepak bola bareng papa dan om Dedy. Tapi kok malah Dika lihat papa sama om Dedy main isep-isepan burung. Ya Dika gak mau ganggu. Tapi karena Dika liat papa udah lama banget sama om Dedy gitu-gituan terus makanya Dika datengin. Nonton bolanya kapan pa?” tanyaku.
“Nonton bolanya udah tadi sayang. Sekarang papa sama om Dedy lagi senam. Lihat nih badan papa sama om Dedy keringetan kan. Kalo Dika liat papa sam om Dedy dari tadi pantat papa goyang-goyang kan kayak gini nih,” papaku kembali menggoyang pantatnya naik turun. Omku kelihatan bingung melihat papaku. “Nah ini kan kayak push up sayang. Dika sering kan liat papa sam om Dedy push up?”
“Sering sih pa. Tapi ini push upnya kok laen sih? Kok burung papa sampe masuk-masuk lobang pantat om Dedy kayak gitu?”
“Ini push up khusus sayang. Supaya badan lebih sehat,” sahut papaku. Dia terus menggerakkan pantatnya seperti tadi. “Sekarang Dika keluar dulu ya. Nanti kalo papa sama om Dedy udah selesai Dika boleh masuk sini lagi,” kata papaku.
“Enggak ah pa. Dika pengen liat aja. Dika kan juga sering liat papa sama om Dedy senam. Kok ini gak boleh?” tanyaku.
“Kalau gitu ya udah. Dika jangan berisik ya. Papa siapin dulu senamnya dengan om Dedy. Sebentar lagi kok. Kalo Dika mau tidur, ya tidur aja disitu sayang,” kata papaku sambil tersenyum padaku.
“A’ gak papa nih dilihat Dika?” tanya omku.
“Habis mo gimana lagi Ded. Aa’ rasanya udah tanggung banget nih,” sahut papaku.
“Nanti kalo ada apa-apa gimana dong?” tanya omku bingung.
“Liat entar aja deh,” sahut papaku.
Setelah itu papaku kembali melanjutkan gerakan pantatnya. Semakin cepat dan keras. Nafasnya tersengal-sengal. Tak lama kemudian gerakannya terhenti mendadak. Pantatnya menekan kuat-kuat. Aku melihat buah pantatnya yang putih mendenyut-denyut dan mengempot. Dari mulut papaku keluar erangan tertahan sambil hidungnya mendengus-dengus yang keras beberapa kali. Tubuhnya kelojotan dan menegang. Hal itu terjadi untuk beberapa detik kedepan. Setelah itu tubuhnya terbaring lemas diatas tubuh omku. Nafasnya memburu. Dadanya yang bidang bergerak naik turun dengan cepat diatas punggung om Dedy.
Beberapa saat kemudian ia membalikkan tubuhnya. Berbaring disebelah om Dedy yang masih menelungkup. Aku lihat kontol papaku yang masih keras, mengkilap dan belepotan cairan putih yang kental. Kayak susu kental manis. Lobang pantat omku yang kulihat menganga, juga belepotan cairan kental itu.
Setelah nafas papaku kembali normal dia menggenakan kembali pakaiannya. Demikian juga omku. Papaku kemudian berkata padaku agar aku tidak menceritakan apa yang aku lihat malam itu pada siapapun termasuk mamaku.
“Kenapa pa? Kok gak boleh dibilang?” tanyaku bingung.
“Karena senam yang papa dan om Dedy kerjakan tadi hanya khusus untuk laki-laki. Kalau mama tahu dia apsti melarang. Mama kan suka kuatir sayang. Liat aja kalau papa sama om Dedy main catur lama-lama. Mama kamu kan suka marah,”
“O.. gitu ya pa. Jadi gak boleh dibilangin?”
“Iya sayang. Anak papa kan pinter. Pasti denger apa yang papa bilang,” kata papaku.
“Oke deh kalo gitu pa,” kataku. Dan aku memang memegang janjiku pada papa itu sampai saat ini. Yang kuingat, sejak itu papa menjadi semakin baik denganku. Apa yang kuminta selalu dipenuhi. Padahal kalo sebelumnya papa tidak selalu memenuhi apa yang kuminta. Mama yang sering mengingatkan papa agar tak meperlakukanku dengan manja seperti itu.
Saat aku duduk di bangku SMP, dimana aku mulai mengenal sex, akhirnya aku paham apa yang terjadi malam itu antara papaku dengan om Dedy. Aku ingat, akhirnya aku menanyakan hal itu pada om Dedy. Mengapa mereka bisa melakukannya padahal mereka bukan homosex sepengetahuanku.
“Waktu itu mama kamu hamil kan Dik. Papa kamu libido seksualnya tinggi banget. Mau nyalurin dengan perek dia takut penyakit. Karena gak tau mau nyalurin sama siapa akhirnya dia minta bantuin om. Awalnya cuman bantuin ngocok doang. Lama-lama ya meningkat sampai oral dan akhirnya apa yang kamu lihat malam itu. Waktu itu juga om kan lagi masa-masa dimana keingintahuan sex sangat tinggi. Akhirnya ya nyambung. Tapi kami gak pernah melakukan lagi kok setelah mama kamu bisa melayani papa kamu. Om juga lebih enak ngelakuinnya sama pacar om dong. Lagian kalo gituan sama papa kamu, kan om yang kena jatah sakitnya doang. Mana mau papa kamu di anal sama om,” kata om Dedy saat kami berdua sama-sama bersiap untuk tidur. Aku kelas dua SMP waktu itu.
“Sakit apa enak sih om? Buktinya om gak minta lepasin sama papa,”
“Ada enaknya om akui. Tapi tetap aja sakit. Lo bayangin aja “anu” papa elo kan segede terong begitu. Masuk ke lobang pelepasan om yang sempit kayak gini. Lagipula om juga gak enak nolak papa kamu kan. Om udah banyak dibantu kayak gini,” kata omku.
“Jadi setelah itu gak ada keinginan untuk nyobain lagi om?”
“Kadang sih ada. Tapi om pikir juga untuk apa. Itukan gak boleh sebenernya. Kemaren juga karena darurat kan. Lagian papa kamu juga gak pernah ngajakin lagi,” katanya sambil membalikkan badannya membelakangiku. “Udah deh. Tidur aja. Gak usah ngomongin itu lagi,” katanya.
“Kalo ada yang ngajak emang mau mas?” tanyaku.
“Ya gak tau juga,” jawabnya tanpa membalikkan badannya kepadaku. “Emang kenapa Dik?” tanyanya.
“Soalnya Dika pengen ngajakin om Dedy gituan,” sahutku.
“Apa?!!” tanyanya sambil membalikkan tubuhnya menghadap padaku dengan cepat.
“Habis kayaknya Dika lihat waktu itu om sama papa keenakan banget. Dika jadi terbayang terus. Jadinya pengen,” sahutku sambil neyengir padanya.
“Kamu masih kecil banget Dik. Masih berapa tahun umur kamu,” katanya menatapku dalam-dalam. Tapi jemarinya membelai rambutku.
“Masak masih kecil sih om. Gini-gini tinggi Dika udah 170 centi meter lho om,” sahutku lagi. Memang meskipun waktu ituaku masih kelas dua SMP tapi badanku udah tinggi lho. Dan mulai terbentuk karena rajin berenang bareng papa dan om Dedy.
“Kamu pengen mencobanya?” tanyanya semakin antusias. Tubuhku yang ramping namun cukup berisi mulai dirabanya.
“Om mau ngajarin kan?” tanyaku lembut. Kucium pipinya.
“Jahat banget dong kalo om gak ngajarin keponakannya sendiri,” sahutnya. Akhirnya terjadilah. Omku memperjakaiku malam itu. Dia benar-benar penuh birahi sekali malam itu. Mungkin karena sudah lama tak melakukannya. Aku benar-benar kerepotan dibuatnya. Yang paling asik saat dia mengijinkan aku menganalnya, seperti apa yang telah dilakukannya padaku sebelumnya berulang-ulang.
Sekarang ini om Dedy udah menikah. Sementara aku masih kuliah. Sampai saat ini tak pernah aku menanyakan pada papaku mengapa ia melakukannya dengan om Dedy dulu. Jawaban omku waktu aku SMP dulu sudah cukup buatku. Sampai saat ini papaku tetap sangat baik padaku. Berusaha memenuhi segala apa yang kuminta.
Sekali-kali aku ketemu dengan om Dedy. Pada usia tiga puluhan dia kulihat semakin matang dan jantan saja. Tetap masih rajin olah raga, sehingga tubuhnya tetap prima. Kalau ketemu dan ada peluang, aku pasti melakukannya dengan omku itu. Lumayan kan, daripada coli, capek sendiri.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar